Judul :
Sekolah Literasi, Perencanaan & Pembinaan
Pengarang :
Laura Lipton dan Deborah Hubble
Tebal :
224 Halaman
Cetakan :
I, Oktober 2016
Penerbit :
Nuansa Cendekia
ISBN :
97860233501144
Harga :
Rp. 60.000,-
Peresensi :
Dian Marta Wijayanti, Direktur
Formaci Press
Budaya literasi di Indonesia jika dibandingkan
dengan Amerika dan Kanada masih berbeda jauh. Padahal bangsa yang maju ditopang
budaya membaca masyarakatnya. Hal itu tentu dimulai dari pendidikan yang harus
menerapkan “sekolah literasi” sebagai sebuah gagasan dan model literasi.
Tujuannya adalah mencetak generasi pembelajar literasi seumur hidup. Buku ini
hadir untuk semua tingkatan pengajaran literasi yang berorientasi sebagai
pembelajar, serta dikemas dalam berbagai strategi inovatif dan
aktivitas-aktivitas praktis di sekolah (hlm.5).
Guru harus menemukan cara cerdas untuk
mengubah minat dan budaya baca di Indonesia yang masih rendah. Melalui buku
ini, guru bisa membandingkan budaya baca di Indonesia dan negara-negara maju.
Apalagi buku menarik ini berisi gagasan-gagasan yang dihasilkan dari diskusi
guru dan para ahli dari Amerika Serikat dan Kanada yang disusun menjadi model pembelajaran
di sekolah.
Selain membahas konsep, buku ini juga
menawarkan perencanaan dan pembinaan baik berupa metode pembacaan teks,
strategi kefasihan dan kiat mentradisikan siswa menjadi pembelajar literasi
seumur hidup. Untuk itu, di tiap pokok bahasan didedikasikan untuk melahirkan
geliat melakukan hal-hal sederhana untuk dilakukan, hal-hal yang menuntut usaha
dan hal-hal yang berkomitmen (hlm.11-12). Komitmen yang dimaksud adalah
komitmen melakukan gerakan literasi yang dimulai dari hal-hal kecil.
Pembelajar
Literasi
Biasnya kata literasi juga dikaji dalam buku
ini. Literasi sendiri dikategorikan secara ilmu dan juga secara praktis atau
karya literasi. Dalam buku ini, kata literasi bermakna lebih luas dari sekadar
kemampuan elementer membaca, menulis dan berhitung (calistung). Namun buku ini
menjelaskan bahwa literasi dalam pengertian modern mencakup kemampuan
berbahasa, berhitung, memaknai gambar, melek komputer dan berbagai upaya
mendapatkan ilmu pengetahuan (hlm.13).
Secara umum, literasi membaca bisa dilakukan
dengan menggunakan model, metode dan teknik membaca. Akan tetapi, buku ini
hadir dengan konsep berbeda untuk memudahkan pendidik dan juga siswa. Buku ini
memberikan oase pengetahuan bahwa pengajaran literasi bermuara pada orientasi
pembelajaran, sebuah filosofi dan bukan sekadar model pengajaran (hlm.12).
Puncaknya, pelaksanaan gerakan literasi melahirkan “pembelajar literasi” seumur
hidup.
Secara praktis, buku ini dibagi menjadi lima
bagian yang menawarkan cara-cara kreatif untuk merangcang lingkungan belajar,
memadu interaksi siswa, mengembangkan keterampilan, membina pembelajar seumur hidup
(hlm.11). Setiap bab, memiliki ruh untuk menggeliatkan budaya membaca, karena
selain praktik juga dilandasi teori dan gagasan.
Gagasan-gagasan praktis dan tidak
“bertele-tele” disajikan buku ini. Apalagi, gagasannya tidak hanya didasarkan
pada kurikulum seni berbahasa, namun kegiatan dan strateginya disesuaikan agar
bisa digunakan di berbagai bidang kajian. Dalam pokok bahasan, fokusnya adalah mendesain
menjadi pembelajar literasi (hlm.13). Posisi guru dan siswa dalam konsep
pembelajaran literasi, sejajar sebagai pembelajar yang sama-sama menerapkan pola
dan metode literasi di dalam kelas.
Salah satu contoh strategi menerapkan literasi
membaca di kelas adalah mengajak anak membaca surat kabar, karya seni,
administrasi publik dan menonton video. Setelah dibaca dan dilihat, anak-anak
diajak guru diskusi agar tercipta satu pemahaman dari objek bacaan (hlm.140).
Dalam praktik literasi, siswa juga diajak
berselancar dengan bahasa asing. Siswa perlu merasa nyaman dalam membaca
kata-kata asing dan mengintegrasikan gagasan informasi kompleks yang mereka
baca (hlm. 126). Kemudian, anak-anak diajak mengupas idiom-idiom Bahasa
Inggris. Idiomatik bahasa asing sangat
kompleks maknanya, sehingga sangat penting dibahas untuk mempelajari Bahasa
Inggris sebagai bahasa kedua bagi anak (hlm.127).
Guru bisa menerapkan gerakan literasi membaca
dengan menggunakan tujuh prinsip dan syarat-syarat bahasa sesuai penjelaskan
Brian Cambourne (1988). Di antaranya yaitu imersi (keterandaman), demonstrasi,
ekspektasi (harapan), tanggungjawab, praktik, perkiraan, dan umpan-balik
(17-18).
Melalui konsep di atas, diharapkan guru dan
siswa menjadi “pecinta literatur” seumur hidup. Mereka perlu mendapatkan
kesempatan diskusi, debat, identifikasi setelah membaca bacaan di dalam kelas
(hlm.155). Membaca tidak hanya berhenti setelah buku dan surat kabar ditutup,
namun akan kembali menggeliat ketika didiskusikan bersama-sama.
Gagasan sekolah literasi harus digalakkan
sejak dini, terutama di bangku Sekolah Dasar (SD). Sebab, keterampilan
berbahasa yang meliputi menyimak, berbicara, membaca dan menulis dipupuk di
sana. Sejak beberapa tahun ini, Kemendikbud juga mendorong literasi anak-anak
agar bisa menjawab tantangan zaman, termasuk menangkal berita “hoax”. Jika tidak
sekarang, kapan literasi membaca digelorakan?
Ingin mendapatkan buku
ini? Silakan hubungi 085740145329.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.