Oleh
Dian Marta Wijayanti
Direktur Formaci Press
Keluarga adalah “sekolah pertama” bagi anak-anak.
Keluarga tidak sekadar urusan biologis namun juga ideologis. Pola hidup
keluarga menentukan cara hidup anak-anak yang didapat dari kedua orang tua
terutama ibu. Bahkan Islam mendefinisikan ibu sebagai madrasah pertama bagi
anak-anaknya. Tidak hanya kecerdasan intelektual, namun ibu bertugas membentuk
anak memiliki kecerdasan emosional dan spiritual. Ini membuktikan betapa
pentingnya pendidikan keluarga.
Di era modern ini, peran keluarga bergeser.
Kesibukan orang tua bekerja, menjadikan anak “terbengkalai”. Pola pikir mereka
instan, yang penting anak bisa sekolah dan tugas orang tua hanya fokus mencari
uang. Padahal, orang tua punya “fungsi edukasi” bagi anak-anaknya. Pola pikir
orang tua juga semakin aneh karena pendidikan anak dibebankan sekolah formal
dan Bimbingan Belajar (Bimbel).
Ki Hadjar Dewantara (1989-1959) menyatakan tempat
yang paling baik melakukan pendidikan individu dan sosial adalah keluarga. Di
sini, Bimbel, keluarga dan sekolah porsinya berbeda. Jika keluarga harusnya
menjadi “sekolah” sekaligus surga bagi anak-anak, sementara sekolah formal
hanya formalitas pendidikan dan Bimbel hanya penunjang. Akan tetapi, fungsi
tersebut penempatannya selama ini timpang.
Pergeseran
Pemerintah membagi pendidikan menjadi tiga, yaitu
pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarat atau lazim disebut Tri Pusat
Pendidikan (UU Sisdiknas No 20/2003). Tidak hanya secara filosofis, namun
pemerintah sendiri mengatur pola pendidikan dan menempatkan keluarga sebagai
sekolah pertama.
Dalam keluarga, anak-anak selain mengenal bahasa
sehari-hari, juga diajarkan cara menulis, mengenal nama-nama hewan, kisah-kisah
nabi dan rasul, cara beribadah, cara makan dan minum serta berbagai hal paling
dasar. Apakah itu berjalan maksimal? Tentu tidak.
Era modern menuntut orang tua mengutamakan karir dan
pekerjaan. Keluarga yang sibuk, bapak dan ibu yang semuanya bekerja menjadikan
anak-anak jauh dari mereka dan gersang. Bagi orang yang hidup di perantauan dan
sibuk kerja, sejak umur satu bulan bahkan seminggu sudah dititipkan kepada
pembantu.
Di sinilah peran dan fungsi keluarga sebagai
“sekolah pertama” bergeser bahkan hilang. Gaya hidup modern dan materialisme membentuk
pola pikir bahwa sekolah adalah sekolah formal. Keluarga hanya dimaknai sebagai
tempat berumah tangga.
Sementara itu, kegiatan belajar di sekolah sekitar
5-7 jam pelajaran juga mendorong orang tua menambah jam belajar anak di Bimbel.
Tidak hanya saat musim ujian, namun kegiatan anak di Bimbel ada yang setiap
hari, terutama saat ada pekerjaan rumah (PR) dari sekolah. Apakah alasannya
karena orang tua sibuk, tidak bisa, atau karena malas? Tentu beragam.
Pengalaman penulis sebagai guru sekaligus pengelola
Bimbel, sebenarnya anak-anak yang di Bimbel rata-rata “pemalas”. Sebab, mereka
ketika ada PR, selalu membebankan pada tutor Bimbel. Mereka belajar di Bimbel
tidak benar-benar untuk belajar, melainkan hanya ingin “PR mereka selesai”
lantaran orang tua juga “malas” membimbing.
Keluarga saat sore sampai pagi hari pasti punya
waktu longgar, meskipun lelah usai kerja. Orang tua di era teknologi yang serba
mudah ini, tidak logis jika beralasan “tidak paham” materi sekolah. Sebab,
mereka bisa mencari materi di buku siswa dan sumber dari internet yang melimpah.
Orang tua lebih tahu karakter dan potensi anak
dibandingkan guru di sekolah maupun Bimbel. Namun banyak orang tua tidak paham
dan tidak mau paham akan hal itu. Menariknya lagi, orang tua tidak peduli nasib
pendidikan anak, namun mereka menuntut lebih dari sekolah formal dan Bimbel.
Padahal, kegagalan belajar dan kenakalan anak murni dari rumah, pergaulan dan
lingkungan sekitar.
Peran dan fungsi pendidikan keluarga harus
dimaksimalkan. Orang tua yang bekerja dipastikan mereka berpendidikan tinggi,
minimal sarjana karena kerjanya di kantor-kantor. Maka mereka harus menjadi
“guru pertama” bagi anak-anaknya dan tidak membebankan, menuntut guru sekolah
dan Bimbel jika anak nakal dan lambat cara berpikirnya.
Rumahku
adalah Sekolahku
Tri Pusat Pendidikan seharusnya dipahami mendalam.
Fakta di lapangan, urusan kecerdasan dan moralitas anak dibebankan pada guru, sementara
tugas orang tua hanya “mencari uang”. Padahal, ketiga ruang pendidikan itu
harus berjalan secara seimbang.
Mendidik anak sendiri, hakikatnya lebih penting
daripada memasrahkan pada orang lain. Orang tua harus pandai memanajemen waktu
agar masa depan pendidikan anak tidak terbengkalai. Sebab, anak tidak sekadar
butuh uang jajan, namun juga kasih sayang dan sosok orang tua yang bisa
“digugu” dan “ditiru”.
Keluarga adalah sekolah dan sekolah berbeda dengan
keluarga, apalagi Bimbel. Jika keluarga menyangkut aspek biologis dan
ideologis, sekolah formal dan Bimbel hanya aspek ideologis dan formalitas saja.
Sedangkan Bimbel hakikatnya menjadi “sekolah ketiga” bahkan “sekolah keempat”
setelah keluarga dan sekolah formal.
Sepandai apapun anak di sekolah formal, namun jika
keluarga tidak memberikan kenyamanan, maka anak menjadi korban. Pola pikir ini
harus diubah. Sebab, masalah kecerdasan itu sumbernya dari keluarga. Jika
keluarga baik, nyaman, mendukung anak, maka prestasi anak juga bagus.
Orang tua harus bisa menempatkan porsi pendidikan
pada tempatnya. Sebenarnya, porsi pendidikan keluarga mencapai 90 persen dalam
hal spiritual dan emosional. Sisanya hanya aspek intelektual yang bisa
dibebankan sekolah formal dan Bimbel. Adagium “rumahku adalah surgaku”
seharusnya menjadi prinsip bahwa “rumahku adalah sekolahku”.
Tanpa porsi tepat, keluarga hanya menjadi “kos dan kontrakan”
saja. Keluarga memiliki “fungsi edukasi” yang menjadi surga dan menciptakan
kenyamanan anak belajar. Jika anak-anak tidak menemukan surganya di rumah, di
mana lagi mereka mendapat kebahagiaan?
-Tulisan ini dimuat di Tribun Jateng pada Selasa 28 Maret 2017
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.