Oleh Sumardjan,
SPd, M.MPd
Kepala SDN 01 Tutup Kabupaten Blora
Tulisan
dimuat di Radar tegal 31 Maret 2017
Mungkinkah
Indonesia benar-benar bisa terbebas dari narkoba di tahun 2017 ini? Ternyata,
narkoba bisa mendera siapa saja, tidak hanya kalangan elit, pejabat, namun
kalangan artis juga selalu identic dengan narkoba. Seolah-olah, kita memang
dalam kondisi darurat narkoba dan generasi bangsa harus diselamatkan.
Di
tiap presiden, pola pemberantasan narkoba memang berbeda. Di era Jokowi-JK,
pemberantasan narkoba juga belum terlihat tegas. Dalam sejarahnya, pada Juni 2012, saat membuka acara Internasional Drug
Enforcement Conference XXIX di Denpasar, Wakil Presiden
Boediono berpidato dan menyerukan pemberantasan narkoba akan
tuntas pada 2015. Hal ini sangat relevan untuk dikaji ulang pada
peringatan Hari Antinarkoba Sedunia yang jatuh pada 26 Juni 2014 lalu. Indonesia tidak bisa bebas dari narkoba jika di Jawa
Tengah sendiri belum bebas narkoba.
Di
tengah ngototnya pemerintah dalam upaya pemberantasan narkoba belakangan ini
terkuak pula pesta narkoba yang ditengarai dilakukan oleh selebritis Raffi
Ahmad dan teman-temannya. Ini kembali mencoreng muka dunia selebritis kita.
Kesannya, dunia selebritis sangat dekat dengan barang haram tersebut. Pada
dasarnya itu merupakan berita baik, karena satu lagi permasalahan tentang
penyalahgunaan kembali terkuak, apalagi disebut-sebut salah satu dari yang
dinyatakan positif sebagai pengguna narkoba itu terkait dengan sindikat pengedar
narkoba.
Hanya
saja, buruknya adalah seorang artis dan politisi kawakan seperti Raffi Ahmad
dan Wanda Hamidah yang anggota DPRD DKI Jakarta (meskipun dinyatakan negatif)
dan Ridho Rhoma anak sang Raja Dangdut, sudah sempat menurunkan pamor dan citra
mereka sendiri di kalangan masyarakat. Seharusnya sebagai publik figur, mereka
mampu memberikan contoh yang baik kepada masyarakat untuk jauh dari barang
haram tersebut. Seharusnya mereka juga belajar dari pendahulu pendahulu mereka
yang juga tersandung kasus yang sama.
Kurang Tegas
Optimisme
dan target memang mutlak diperlukan, namun untuk kelas negara sebesar Indonesia
target juga perlu dipertimbangkan. Apalagi mengingat belakangan ini Indonesia, negara
kita ini, tengah disebut-sebut sebagai surga pengedaran narkoba. Banyak
mafia-mafia narkoba kelas kakap, taraf internasional yang berdagang narkoba ke
negeri kita. Saya cukup antusias membaca berita tentang penggagalan peredaran
narkoba belakangan ini.
Nilai
transaksi narkoba di Indonesia mencapai Rp. 42,8 Triliun per tahun dengan
kerugian ekonomi yang disebabkannya, seperti biaya konsumsi narkoba,
pengobatan, proses hukum dan rehabilitasi, yang terus meningkat pertahunnya.
Pada tahun 2008 kerugian ekonomi yang disebabkan oleh narkoba mencapai Rp. 32,
4 triliun, meningkat drastis pada tahun 2011 yang mencapai Rp. 48,3 triliun.
Ini
malah berbanding terbalik dengan target pemerintahan tadi, jumlah kasus narkoba
dan tersangka juga bukannya menurun namun malah semakin bertambah dalam dua
tahun terakhir. Pada tahun 2011, jumlah kasus narkoba yang diperoleh dari
Survei Nasional Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia, Badan Narkotika Nasional,
dan pemberitaan media menyebutkan ada sekitar 17.383 kasus narkoba, sedangkan
pada tahun 2012 meningkat menjadi 17.702 kasus.
Untuk
tersangka juga mengalami hal serupa, tahun 2011 jumlah tersangka kasus narkoba
mencapai 22.936 tersangka, meningkat drastis pada tahun 2012 menjadi 23.425
tersangka. Namun rupanya ini disebut oleh Djoko Suyanto, Menteri Koordinator
Politik, Hukum dan Keamanan bukan ancaman. Menurutnya ini hanya ancaman bagi
kesehatan generasi muda.
Penulis
sendiri tidak sepakat dengan pendapatnya, memang ini mengancam kesehatan
generasi muda, belum kepada bangsa. Namun ketika semua generasi muda rusak,
bukankah bangsa juga yang akan repot. Tidak punya penerus lagi. Ini jelas
sebuah ancamanan. Untuk menghancurkan sebuah bangsa tidak perlu harus memporak
porandakan negara itu langsung. Bisa saja perlahan dengan menghancurkan generasi
penerus bangsanya bukan?
Pemberian
grasi secara berlebihan juga patutnya dihindari, dalam kasus narkoba berskala
besar yang melibatkan mafia luar negeri sering kita mendengar pemberian grasi
yang kontroversial. Misalnya pada 2011 lalu, Meirika Franola alias Ola,
tersangka Vonis hukuman mati kasus narkoba mendapat grasi hukuman seumur hidup.
Mei 2012, Schapelle Leigh Corby, vonis 20 tahun penjara mendapat grasi 15 tahun
penjara, Peter Achim Franz Grobhmann, vonis 5 tahun mendapat grasi 3 tahun
penjara. Selain itu juga ada remisi-remisi setiap 17 Agustus yang diberikan kepada
tersangka kasus narkoba.
Sulitnya
lagi adalah, sangat keterlaluan sekali membaca berita bahwa meskipun tersangka
sudah mendekam di penjara, namun mereka masih bisa mengendalikan pengedaran
barang haram tersebut. Ya, dibalik jeruji mereka masih punya kendali dalam
berbisnis. Beberapa waktu lalu, harian Kompas memberitakan tentang penangkapan
26 orang pengedar narkotika yang dikendalikan oleh tiga terpidana kasus narkoba
yang mendekam di LP Nusa Kambangan dan LP Cipinang. Ketiga orang tersebut
merupakan Bandar internasional yang berasal dari Malaysia, Singapura, dan
Nigeria. Harusnya semua akses ditutup seketika.
Mencapai Target
Memang,
permasalahan narkoba bukan hanya masalah di Indonesia, namun juga masalah
dunia. Mafia-mafia narkoba punya jaringan yang sangat luas. Narkoba juga bukan
tindak kriminal yang biasa. BNN sendiri menyebutkan bahwa tindak pidana Narkoba
merupakan sebuah Extra Ordinary Crime. Jadi penanganannya juga harus tidak
biasa.
Rokhmah
Nurhayati (2014) menjelaskan bahwa memberantas narkoba tidak cukup hanya
bergantung pada petugas kepolisian dan BNN, Masyarakat dan Media Massa juga
punya peran penting dalam pemberantasan narkoba tersebut. Seperti halnya penggerebekan
rumah Raffi Ahmad yang katanya berasal dari pengaduan masyarakat, cukup
terlihat bahwa masyarakat sudah mulai sadar betapa bahayanya barang haram
tersebut. Sosialisasi di sekolah dan kampus-kampus juga perlu ditingkatkan.
Karena target pasar narkoba memang adalah generasi muda. Bahkan kita bisa saja
sedang berada tepat di samping pengkonsumsi narkoba sekarang. Siapa tahu.
Zulkarnaen
Nasution (2013) menyatakan hingga kini Indonesia pertahunnya hanya
mampu menurunkan presentase pengedaran narkoba sebesar 10 persen pertahun. Jadi
dalam dua tahun kedepan hanya mencapai 20 persen. Tapi antusiasme dan semangat
pemerintahan presiden SBY patut kita acungi jempol. Semoga strategi yang
digunakan tepat.
Kita
sebagai masyarakat hanya bisa membantu melalui pengawasan terhadap lingkungan
sekitar saja. Terutama anak-anak dan saudara kita. Jangan sampai mereka juga
terlibat dalam pengguna narkoba, apalagi pengedar. Keluarga sebagai unit
terkecil dari masyarakat sangat berperan penting untuk menjaga generasi muda
kita dari kebobrokan moral, dalam hal ini penggunaan narkoba.
Soal
target bebas narkoba 2017, ya kita optimis sajalah, berharap juga kepada aparat
agar jangan sampai kehilangan kepercayaan masyarakat. Semoga Indonesia benar
bisa bebas dari narkoba, Semua itu harus dilakukan secara berjamaah dan tidak
bisa sendiri-sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.