Oleh
Hamidulloh Ibda
Direktur
Utama Forum Muda Cendekia
Kartini
selama ini hanya dikenal sebagai pahlawan nasional. Spiritnya hanya seputar
emansipasi, persamaan derajat, pendidikan tinggi serta kepemimpinan kaum hawa.
Akan tetapi, masih sedikit yang membahas spirit literasi Kartini. Fakta sejarah
Kartini, berbeda dengan kondisi sosial budaya masyarakat Kabupaten Jepara
sebagai tanah kelahiran dan Rembang sebagai tempat peristirahatan terakhir
Kartini.
Kepedulian
Kartini terhadap kemajuan pendidikan hanya dikenal melalui sedikit buku. Sebut
saja buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” karya Armijn Pane, “Panggil Aku
Kartini Saja” karya Pramoedya Ananta Toer dan karya lain berbahasa Belanda yang
diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Kedua buku itu ada aspek paradoks karena
mendistorsi peran Kartini dalam membangun peradaban literasi. Sebab, buku yang
diilhami dari kumpulan surat-surat Kartini tersebut hanya memberi pesan bahwa
Kartini adalah “penulis”, bukan “pembaca”.
Sejarah
Kartini adalah “sejarah perlawanan” terhadap tradisi yang memandang sebelah
mata kaum hawa. Melalui surat-surat yang ia tulis, Kartini menyuarakan
kegelisahannya tentang kondisi perempuan yang kala itu “terbelakang” dari
pendidikan, budaya dan politik. Di era global saat ini, perempuan sudah maju di
berbagai bidang. Namun, bagaimana kondisi literasi perempuan di era milenial?
Buta Aksara
Sampai
2015, Kemendikbud mencacat 6,2 juta masyarakat Indonesia buta huruf/aksara. Mereka
didominasi perempuan dan berada di daerah padat penduduk. Secara global, Keller
(2015) mencatat jumlah penduduk dunia yang buta huruf mencapai 774 juta jiwa,
di mana 493 juta di antaranya perempuan. Sementara di Indonesia, sebanyak 8,5
juta orang buta huruf, dan 64% dari jumlah itu atau sekitar 5,4 juta jiwa
adalah perempuan.
Era
digital harusnya membuat perempuan “melek literasi”, terutama kemampuan
membaca. Sebab, tidak ada bangsa yang maju tanpa ditopang budaya baca
masyarakatnya. Akan tetapi, budaya merumpi dan menonton televisi masih
mendominasi kaum hawa. Ditambah lagi budaya bermedia sosial yang berlebihan
mendominasi dalam semua aktivitas perempuan.
Budaya
membaca sangat penting. Tanpa budaya baca, suatu negara susah berkembang bahkan
stagnan dan tertinggal. Jumlah penduduk Indonesia yang didominasi perempuan
seharusnya melestarikan tradisi baca. Apalagi, perempuan disiapkan untuk
menjadi “sekolah pertama” bagi anak-anaknya. Sebagai guru di keluarga, ibu
sangat memiliki peran strategis mencerdaskan anak-anaknya. Apalagi, sebelum
menempuh pendidikan sekolah dan masyarakat, anak-anak mendapat ilmu, informasi,
siraman moral dari keluarga. Jadi, ibu sangat dilarang “bodoh” dan buta
literasi.
Perempuan
sebagai induk pengetahuan bagi generasi bangsa seharusnya melek literasi.
Apalagi, perempuan menurut Subyantoro (2014) diberi kelebihan “plus-plus” dari
Tuhan, terutama aspek bahasa. Dalam kajian linguistik, perempuan memiliki keluwesan
dan keterampilan bahasa yang melimpah
dibandingkan laki-laki. Sangat wajar jika perempuan lebih “cerewet” daripada
kaum adam. Bahkan, jika tidak cerewet, perempuan tersebut justru dipertanyakan.
Dalam
pemerolehan dan pembelajaran bahasa, ibu/perempuan memiliki peran strategis
untuk mengantarkan anak-anaknya mendapatkan informasi, ilmu pengetahuan dan
data yang benar. Apalagi era banjir informasi seperti ini susah membedakan mana
berita benar dan mana yang hoax
(palsu) dan fake (palsu).
Meskipun
literasi erat kaitannya dengan catur tunggal berbahasa, yaitu menyimak,
membaca, menulis dan berbicara, namun membaca menjadi kemampuan utama
mengembangkan ketiga aspek lain. Literasi tidak sekadar urusan berbahasa. Namun
menurut Deborah (2016) literasi juga aspek melek komputer dan segala usaha
mendapatkan pengetahuan. Jadi melek literasi sangat wajib untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan dengan benar dan baik.
Literasi Kartini
Kartini
dikenal dengan sosok yang rajin membaca. Bahkan, ia saat dipaksa menikah oleh
keluarganya, ia justru mengurung diri di dalam kamar dan menghabiskan waktu itu
untuk membaca dan menulis surat-surat. Kehidupan literasi Kartini semakin
matang ketika ia menulis surat berbahasa Belanda karena ia mengenyam pendidikan
Europese Lagere School (ELS).
Kartini
juga aktif membaca berbagai literatur buku, koran, dan majalah Eropa yang
diberikan kakaknya, Kartono. Sosrokartono atau Kartono juga pintar bahasa asing.
Bahkan, ia mampu menguasai hampir 26 bahasa asing dan menjadi jurnalis ternama
di zaman itu.
Dari
kegiatan sekolah dan membaca itu, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir
perempuan Eropa. Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief. Ia
juga menerima majalah langganan Leestrommel yang dijadikannya bahan bacaan. Tema
majalah itu beragam, mulai kebudayaan, ilmu pengetahuan, termasuk majalah
wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kegiatan literasi membaca tersebut
membuahkan hasil surat-surat yang kini menjadi inspirasi dunia.
Kartini
merupakan sosok pembaca kritis. Bahkan menurut penjelasan Legiman, juru kunci Pantai
Pungkruk Mlonggo, Jepara, saat itu, Kartini tidak mau membaca semua Alquran dan
hanya membaca satu surat yaitu Al-fatihah saja. Sebab, Kartini beranggapan
bahwa ia hanya membaca kitab berbahasa Arab tanpa tahu maknanya. Pada suatu
ketika, pahlawan kota ukir ini menghadiri acara pernikahan di Kabupaten Demak
dan kebetulan ada Kiai Soleh Darat yang memberi ceramah tentang tafsir surat
Al-fatihah. Sejak saat itulah, Kartini resmi berguru dengan Kiai Soleh Darat
yang menjadikannya muslimah kritis (Haris, 2017).
Jejak
dan “petilasan” Kartini, sebenarnya lebih kuat di Jepara dibandingkan di
Rembang. Apalagi, banyak tempat-tempat khusus yang digunakan Kartini untuk
merenung dan membaca serta menulis surat, salah satunya adalah Pantai Pungkruk
Jepara yang jarang diketahui publik.
Tradisi
literasi itulah yang menjadi spirit kemajuan Kartini dan kaum hawa. Sebab,
meski zaman masih terbatas, namun penguasaan bahasa asing sangat tinggi.
Berbeda dengan sekarang yang sangat minim meskipun semua fasilitas mudah
diapat.
Kartini
merupakan pahlawan literasi yang seharusnya dicontoh semua perempuan. Artinya,
jangan sampai ada perempuan di era milenial seperti ini “buta literasi” dengan
segala macam fasilitas teknologi. Sudah seharusnya, spirit literasi Kartini
menjiwai perempuan Indonesia dalam rangka mendapatkan ilmu pengetahuan. Sebab,
tanpa membaca, maka perempuan selamanya akan tertinggal.
Tanpa
membaca, tidak mungkin Kartini memperjuangkan nilai-nilai ketuhanan, humanisme
dan nasionalisme. Spirit mendapatkan pengetahuan inilah yang menjadi “mahkota”
yang harus dijaga. Sebab, meskipun berpendidikan tinggi, namun spirit belajar
rendah, maka akan susah mendongkrak kualitas sumber daya manusia.
Spirit
berkartini tidak sekadar berkebaya, mengenakan batik, fashion show dan mengenakan baju adat. Namun, lebih pada spirit
memberantas buta aksara. Jika Kartini bisa melek literasi ketika tidak ada
ponsel dan internet, apakah Anda akan buta literasi disaat banjir teknologi
seperti ini?
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.