Suasana diskusi Hari Pendidikan Nasional, Selasa petang (2/5/2017) di halaman kantor Dekan FISIP Universitas Diponegoro (Undip) Tembalang, Semarang . |
Semarang, Penerbitformaci.id – Dalam rangka
rangka
memperingati Hari Pendidikan Nasional, Selasa (2/5/2017), Himpunan Mahasiswa
Jurusan (HMJ) Ilmu Pemerintahan FISIP Undip menggelar diskusi polemik Uang
Kuliah Tunggal (UKT). Kebijakan UKT tersebut, sudah diterapkan sejak tahun 2013
di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN) di seluruh Indonesia.
“UKT, memang bertujuan
memberantas pungli saat penerimaan mahasiswa baru. Kedua, meringankan beban
orang tua dengan logika penyesuaian biaya kuliah sesuai dengan kondisi orang
tua,” beber Hamidulloh Ibda, dosen STAINU Temanggung saat menjadi pemateri
dalam diskusi tersebut.
Akan tetapi masalahnya, kata
dia, UKT juga membawa dampak buruk. “Pertama, fakta riil di lapangan, banyak
mahasiswa terbebani karena biaya kuliah makin mahal. Apalagi mahasiswa yang
diterima di jalur Ujian Mandiri (UM) karena otomatis masuk golongan 7 yang
jumlah UKT-nya sangat mahal,” tegas dia dalam diskusi yang dimoderatori Yafi Ananta
pengurus HMJ Ilmu Pemerintahan FISIP Undip tersebut.
Seperti diketahui, biaya
studi di PTN/PTAIN menggunakan sistem UKT yang dirumuskan berdasarkan BKT.
Sistem UKT terdiri atas golongan 1 sampai 7. Terdapat perbedaan dari setiap
jalur dari sistem ini yaitu Program Sarjana Strata 1 (S1) dan Program Diploma
III (D3). Jalur itu, untuk S1 dan D3 yaitu jalur SNMPTN, SBMPTN; dan jalur
Ujian Mandiri UM).
“Sesuai
jalur itu, penentuan UTK di tiap PTN/PTAIN juga berbeda tiap kampus. Apalagi,
bagi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) seperti Undip, UGM, UI, maka dekan
berhak melakukan otonomisasi standar pembiayaan akademik. Inilah sebabnya, ada
perbedaan UKT yang signifikan antarprodi. Sama-sama di satu fakultas dan
kampus, jas almamater juga sama, namun besaran UKT beda,” beber dia.
Bebas Pungli
Jika
sekadar ingin memutus pungli saat penerimaan mahasiswa, kata Ibda, sebenarnya
pemerintah tidak perlu menerapkan UKT. “Sebab, jagat akademik harus steril, bebas
pungli, korupsi, maka selalu diawasi BPK, KPK dan juga Kemenristek Dikti serta
Kopertis secara berkala. Jadi, sebenarnya UKT ini produk coba-coba yang
mengakibatkan mahasiswa angkatan 2013-sekarang menjadi kelinci percobaan,”
tukas penulis buku Demokrasi Setengah Hati tersebut.
Secara
kualitatif, kata dia, hampir di tiap nurani mahasiswa yang kurang mampu pasti
merasa keberatan dengan UKT. “Maka, suara-suara mahasiswa di persimpangan jalan
menyebut UKT dengan sinisme yang melahirkan akronim UKT menjadi “Uang Kuliah
Termahal”, atau “Uang Kuliahku Tertilep” bahkan “Uang Kuliah Tabungan”, “Uang
Kuliah Titipan” yang puncaknya menjadi OKT, yaitu “Ora Kuat, Tuhan!” kata dia.
Direktur
Forum Muda Cendekia (Formaci) ini juga berahap agar UKT tidak melahirkan kejahatan
akademik. “Mengapa? Karena banyak kasus manipulasi data keluarga, kekayaan
orang tua yang disembunyikan. Contohkan saja status orang tua, ada yang rela mengubah
KTP berstatus pekerjaan wiraswasta yang asalnya PNS. Ini jelas-jelas, UKT
menjadi embrio dosa akademik,” kata dia dalam diskusi yang dihadiri puluhan
mahasiswa tersebut.
Di
sisi lain, papar dia, data yang diberikan calon mahasiswa mulai dari jenis
rumah, luas tanah, status kepemilikan, juga kepemilikan harta benda seperti
emas, sawah, kendaraan dan lainnya juga banyak yang dipalsukan.
Ia berharap, agar UKT
benar-benar tepat dan objektif. “Harapan kita tentunya tidak hanya masalah
bebas pungutan liar saat penerimaan mahasiswa. Namun juga berkaitan data yang
diberikan calon mahasiswa kepada kampus saat pemberkasan. Di sisi lain, juga
perlu pengawasan berkala agar tipa kampus yang sudah PTN-BH tidak
sewenang-wenang melakukan kebijakan tanpa memerhatikan nasib mahasiswa dan
orang tua mereka,” tegas dia. (Hms).
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.