Oleh Sumardjan, SPd, M.MPd
Guru dan Kepala SD Negeri 01 Tutup Kabupaten Blora
Guru bukan robot dan mesin yang bekerja tanpa istirahat. Guru berbeda
dengan profesi lain, karena berkaitan ilmu pengetahuan, kecerdasan pelajar
mulai dari intelektual, spiritual dan emosional. Salah sedikit transfer
informasi dan ilmu, maka rusaklah dunia. Namun beban administrasi dari
pemerintah sangat “tidak manusiawi” khususnya guru berstatus Pegawai Negeri
Sipil (PNS).
Banyak yang mengira menjadi guru PNS itu enak, karena jaminan gaji,
tunjangan, sertifikasi dan pensiun. Pandangan itu tak sebanding kenyataan. Selain
tugas profesi pendidik, guru dibebani tugas administrasi berlebihan, ada tugas
harian, mingguan, bulanan, tri wulan, semester dan tahunan.
Dikarenakan terbebani administrasi, tugas utama pendidik termarginalkan.
Jangankan membaca buku, meneliti, menulis karya ilmiah apalagi lanjut kuliah ke
jenjang magister/doktor, untuk menciptakan pembelajaran ideal saja susah.
Apalagi di SD/MI, mengondisikan anak-anak saja susah, apalagi transfer ilmu dan
membimbing karakter mereka secara maksimal.
Beban berat itu sebenarnya dikeluhkan guru. Namun mereka “tidak berani”
menyuarakan karena pola pikir mereka “praktisi” dan tidak menempatkan diri
sebagai “ilmuwan” yang harusnya mencari solusi. Apalagi, urusan mengajar tidak
sekadar urusan akal, namun juga hati, perasaan dan keikhlasan.
Tugas Berat
Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) tahun 2005 mewajibkan guru memenuhi 7 tugas
utama. Ketujuh tugas itu meliputi mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Selain itu, Depdikbud sejak 1970
membebani guru menjadi “administrator”. Guru diwajibkan memenuhi program
pengajaran, menyusun program kegiatan mengajar, menyusun model pelajaran dan tata
usaha kelas.
Sejak Depdikbud berubah menjadi Kemendikbud, pemerintah membebani komponen
administrasi. Guru wajib memenuhi administrasi kurikulum, personal,
administrasi murid, tata laksana, administrasi saran dan kegiatan hubungan
sekolah-masyarakat. Jika didata riil, unsur administrasi itu menumpuk dan guru
tidak ada bedanya dengan petugas Tata Usaha (TU). Apalagi, di sekolah terutama SD,
jarang yang memiliki TU PNS. Di sini kondisi semakin rumit karena sekolah
bergantung pada Pegawai Tidak Tetap (PTT) atau Guru Tidak Tetap (GTT) yang
menjadi TU/operator.
Administrasi di dunia birokrasi sudah lazim “njelimet”. Tiap hari, guru
wajib membuat laporan kinerja harian, mengisi e-kin (kinerja elektronik) bagi yang menerapkan online. Selain tugas pokok itu, guru perbulan/triwulan
wajib mengurus pengajuan pencairan sertifikasi, tunjangan tamsil, TPP dan
administrasi penelitian bagi yang melakukan. Bagi GTT/PTT wajib mengurus perpanjangan
kontrak kerja.
Sementara tugas persemester/tahunan, guru wajib memenuhi adminsitrasi SK
KBM, SK mutasi (jika ada), laporan bulanan, SKP perbulan, PKG tahunan, SPT
tahunan, Penilaian Angka Kredit (PAK), pengajuan SK berkala (2 tahun sekali),
pembaharuan tunjangan anak/istri/suami dan lainnya.
Kemudian pengurusan administrasi siswa mulai dari BOS, Dapodik, beasiswa
dan lainnya. Juga tugas lain mulai rapat forum Kelompok Kerja Guru (KKG),
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), PGRI, UPTD Pendidikan/Dinas Pendidikan,
Badan Kepegawaian Daerah (BKD), KORPRI dan lainnya. Antara guru PNS, GTT, guru
tetap yayasan tugasnya hampir sama.
Bagi guru produktif, beban itu pasti dijalankan dengan benar. Bagi pemalas
dan relasi kurang, maka akan menimbulkan kejahatan akademik. Misalnya, saat
membuat Silabus/RPP, mereka “membeli” dari orang lain. Padahal itu tugas pokok.
Belum lagi menulis karya ilmiah, banyak yang rela membeli dari oknum nakal demi
kenaikan pangkat.
Posisi guru saat ini hanya dipandang enaknya saja dan pemerintah terus membebani
tanggungjawab memajukan pendidikan. Jika dikalkulasi, waktu mengajar di sekolah
sekitar 7 jam itu terkuras mengurus administrasi. Bagaimana fokus mendidik jika
beban administrasi melimpah. Sedangkan jika tidak lengkap, maka gaji dan
tunjangan susah cair.
Seolah-olah guru seperti robot dan tidak ada waktu untuk belajar, berpikir,
mencari inovasi pembelajaran. Wajar saja pendidikan masih terbelakang karena tidak
ada bedanya antara “profesi guru” dan “pegawai administrasi”. Pekerjaan guru
itu mendidik, mereka harus sempurna dan berpikir agar siswanya berkualitas. Berbeda
dengan PNS umum, mereka yang penting bekerja dan memenuhi administrasi, maka
selesailah sudah karena tidak ada tuntutan sempurna di depan anak-anak.
Memanusiakan
Guru
Guru bukanlah dosen yang dibebani Tri Darma Perguruan Tinggi. Namun, sesuai
Permen PAN RB No.16/2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, ketika golongan III-B guru
wajib melakukan penelitian, publikasi ilmiah dan karya inovatif.
Regulasi itu hakikatnya “membebani”
guru karena susahnya publikasi karya dan menumpuknya beban administrasi. Tidak
heran guru “susah naik pangkat” karena kewajiban publikasi ilmiah setara tugas
dosen. Jika tidak memenuhinya, maka guru tidak bisa naik pangkat.
Guru harus “dimanusiakan”
dan perlu dicari solusinya. Pertama, pelangsingan administrasi. Fungsi administrator
di sini lebih pada tugas pembelajaran, bukan tugas umum, karena sudah ada TU
dan kepala sekolah. Maka PTT harus diangkat menjadi PNS agar bekerja maksimal.
Kedua, pola pengarsipan yang
jelas, baik bottom op maupun top down. Artinya, jangan ada
“administrasi ganda” antara sekolah, UPTD Pendidikan, Dinas Pendidikan dan BKD.
Ketiga, mengefektifkan administrasi online.
Artinya, jika sudah upload sekali,
maka tak perlu mengunggah lagi. Selain hemat, hal itu mengurangi beban dan
administrasi ganda. Keempat, kejelasan pembagian tugas, antara guru, TU, kepala
sekolah, mana tugas personal dan tim.
Guru harus punya prinsip mendidik adalah ibadah, amal saleh dan tabungan
dunia akhirat. Namun guru tetaplah guru bukan robot, sebab, guru juga manusia!
-Tulisan inu dimuat di Tribun Jateng 11 Apri 2017
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.